I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Budidaya ikan semakin berkembang, kebutuhan akan pakan mejadi salah satu masalah yang menjadi perhatian serius dari akuakulturis yang bergerak di bidang ini. Salah satu pakan yang menjadi kebutuhan bagi kegiatan budidaya adalah pakan alami. Ada berbagai macam pakan alami yang menjadi perhatian para akuakulturis, seperti fitoplankton, zooplankton, cacing, dan maggot. Pakan alami dikembangkan dengan berbagai tujuan seperti pemenuhan kebutuhan nutrisi, sebagai first feeding dalam pembenihan ikan, dan lain sebagainya.

Pengembangan pakan alami yang masih tergolong tradisional adalah cacing sutera. Sebagian besar pemenuhan kebutuhan akan cacing sutera didapat dari alam. Hal tersebut dikarenakan teknologi budidaya dari cacing sutera ini belum berkembang dengan baik, sehingga masih mengandalkan tangkapan dari alam. Kebutuhan cacing sutera berasal dari sentra-sentra pembenihan ikan konsumsi dan budidaya ikan hias air tawar. Proses pengambilan cacing sutera dari alam membutuhkan penaganan khusus dan ketelatenan agar didapatkan cacing yang tahan dan dapat hidup di luar habitatnya hingga dapat didistribusaikan kepada konsumen.

1.2 Tujuan

Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui prosedur penanganan cacing yang tepat untuk mendapatkan survival rate cacing yang tinggi.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biologi Cacing Sutera

Cacing tubifex sering disebut dengan cacing sutera, klasifikasi cacing sutra menurut Gusrina (2008) adalah :

Filum   : Annelida

Kelas   : Oligochaeta

Ordo    : Haplotaxida

Famili  : Tubifisidae

Genus  : Tubifex

Spesies: Tubifex sp.

Cacing ini memiliki bentuk dan ukuran yang kecil serta ramping dengan panjangnya 1-2 cm, sepintas tampak seperti koloni merah yang melambai-lambai karena warna tubuhnya kemerah-merahan, sehingga sering juga disebut dengan cacing rambut. Cacing ini merupakan salah satu jenis benthos yang hidup di dasar perairan tawar daerah tropis dan subtropis, tubuhnya beruas-ruas dan mempunyai saluran pencernaan, termasuk kelompok Nematoda. Cacing sutera hidup diperairan tawar yang jernih dan sedikit mengalir. Dasar perairan yang disukai adalah berlumpur dan mengandung bahan organik. Makanan utamanya adalah bagian-bagian organik yang telah terurai dan mengendap di dasar perairan tersebut (Djarijah 1996).

Cacing sutera merupakan organisme hermaprodit yang memiliki dua alat kelamin jantan dan betina sekaligus dalam satu tubuh. Berkembangbiak dengan bertelur, proses peneluran terjadi di dalam kokon yaitu suatu segmen yang berbentuk bulat telur yang terdiri dari kelenjaar epidermis dari salah satu segmen tubuhnya. Telur tersebut mengalami pembelahan, kemudian berkembang membentuk segmen-segmen. Setelah beberapa hari embrio dari cacing ini akan keluar dari kokon. Cacing sutera ini mulai berkembangbiak setelah 7-11 hari (Lukito dan Surip 2007).

Induk yang dapat menghasilkan kokon dan mengeluarkan telur yang menetas menjadi tubifex mempunyai usia sekitar 40-45 hari. Jumlah telur dalam setiap kokon berkisar antara 4-5 butir. Waktu yang dibutuhkan untuk proses perkembangbiakan telur di dalam kokon sampai menetas menjadi embrio tubifex membutuhkan waktu sekitar 10-12 hari. Jadi daur hidup cacing sutera dari telur, menetas hingga menjadi dewasa serta mengeluarkan kokon dibutuhkan waktu sekitar 50-57 hari (Gusrina, 2008).

Gambar 1. Siklus hidup Tubifex sp.Gambar 1. Siklus hidup Tubifex sp.

2.2 Penanganan Cacing Sutera

Sebagian besar suplai cacing sutera berasal dari tangkapan alam. Cacing hasil tangkapan ini memerlukan penanganan khusus agar dapat bertahan. Cacing hasil tangkapan tersebut dikumpulkan, cacing dicuci terlebih dahulu sebelum dimasukan ke tempat pengumpulan. Kemudian dilakukan pencucian untuk menghilangkan lumpur, lalu diendapakan dan dicuci kembali. Setelah bersih, cacing ditempatkan dalam tempat penanpung dan diberi air mengalir selama kurang lebih 20 menit lalu air dimatikan dan cacing dibiarkan untuk bergerak kepermukaan untuk mengambil oksigen. Air dialirkan setiap 2 jam sekali untuk menjaga suplai air dan aerasi diberikan untuk menjaga suplai oksigen agar cacing tetap hidup hingga dapat didistribusikan kepada pembeli.

Penaganan tersebut bisa disebut sebagai masa penangkaran. Masa penangkaran ini dilakukan untuk menjaga stok produksi cacing agar tetap memenuhi kebutuhan. Biasanya cacing ini akan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru selama beberapa hari. Cacing ini mulai berkembang biak setelah 7-11 hari sejak penangkaran. Penting untuk menjaga suplai air selama masa penangkaran, sebab cacing tidak dapat tumbuh dan berkembangbiak dalam kondisi yang kekurangan air atau kering. Hasil penangkaran ini lah yang selajutnya digunakan sebagai bibit pada produksi massal di tempat pemeliharaan yang ukurannya lebih luas. Tujuan penangkaran ini adalah untuk mendapatkan bibit yang telah terbiasa hidup di habitat buatan.

Pengembangan cacing sutera juga dapat dilakukan dengan budidaya pada kolam maupun parit. Parit beton atau kayu dengan ukuran lebar 50 cm, panjang 5-10 m dan tinggi 20-30 cm biasa digunakan sebagai wadah budidaya. Adapun media yang digunakan untuk budidaya cacing ini ialah campuran antara pupuk kotoran ayam dan lumpur kolam 1 : 1. Caranya, media dihamparkan dalam parit dengan ketebalan 5 cm kemudian air dialirkan 900 ml/menit selanjutnya cacing bibit ditebar. Pemanenan dapat dilakukan dengan menyerok cacing dengan serokan (Lukito dan Surip 2007).

2.3 Pemasaran

Pemasaran cacing sutera cukup luas terutama terkait dengan kegiatan pembenihan ikan konsumsi dan budidaya ikan hias, baik daerah perkotaan maupun pedesaan. Pembenihan ikan menjadi pasar yang besar karena biasanya dilakukan secara massal dan berkesinambungan. Rentang waktu yang cepat dalam tiap tahap pembenihan menyebabkan pihak pembenih membutuhkan suplai cacing sutra secara kontinu untuk menunjang keberhasilan produksi benihnya hingga mencapai ukuran pasar (Khairuman et al. 2008).

Faktor lain yang secara tidak langsung mendongkrak permintaan cacing sutra adalah pemeliharan ikan hias. Kebutuhan cacing sutra untuk kegiatan pembenihan tidak hanya datang dari usaha pembenihan perorangan, tetapi permintaan juga datang dari uasah pembenihan milik pemerintah, seperti Balai Benih Ikan (BBI) yang banyak tersebar di berbagai daerah di tanah air (Khairuman et al. 2008).

Harga jual cacing sutra juga cukup menggiurkan. Namun, harganya fluktuatif dan tidak terstandar sehingga berbeda antara daerah. Cacing sutra dalam kondisi hidup dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan cacing sutera kering atau beku. Harga cacing sutra di Jakarta mencapai Rp 15.000-Rp 20.000 per liter, sementara itu di kota Padang harganya Rp 7.000 per liter (Khairuman et al. 2008).

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat

Praktikum dilaksanakan pada tanggal 5 Juni 2009 dan pengamatan pada tanggal 6 Juni 2009, bertempat di Laboratorium Nutrisi Ikan dan Laboratorium Sistem dan Teknologi, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam praktikum kali ini antar lain baskom, aerator, selang aerasi, dan gelas cup. Bahan-bahan yang digunakan antara lain Methylene Blue (MB), air tawar dan cacing sutra.

3.3 Prosedur Kerja

Cacing sutera dikeluarkan dari dalam plastik pembungkus dan dipindahkan ke dalam baskom. Cacing tersebut akan diberi beberapa perlakuan penanganan dalam praktikum ini. Praktikum penanganan cacing sutera ini terdapat empat perlakuan. Pertama, air mengalir dan aerasi; air dimasukkan ke dalam baskom (yang sudah dilubangi) kemudian cacing sutera dimasukkan ke dalam baskom. Setelah itu, air dialirkan melalui selang kecil dari tandon air dan diberi aerasi sedang. Kedua, air tergenang dan aerasi; air dimasukkan ke dalam baskom kemudian cacing sutera dimasukkan ke dalam baskom. Setelah itu, aerasi dipasang dalam baskom. Ketiga, air mengalir tanpa aerasi; mirip dengan perlakuan pertama namun aerasi tidak diberikan. Keempat, air tergenang tanpa aerasi; cacing sutera dimasukkan ke dalam baskom tanpa aerasi dan aliran air. Perlakuan yang diberikan pada shift 1 tepat sama seperti prosedur di atas. Sedangkan pada shift 2, air dalam baskom tersebut ditambahkan methylene blue. Kelangsungan hidup cacing sutera selama diamati setelah 2 x 12 jam.

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

Praktikum yang telah dilakukan mendapatkan hasil sebagai berikut :

Tabel 1. Tingkat Kelangsungan Hidup Cacing Sutera Pada Berbagai Media Penanganan

Shift

Perlakuan

Survival Rate (SR) Cacing

Pagi hari

Sore hari

Shift 1

Perlakuan 1

99%

25%

Perlakuan 2

80%

25%

Perlakuan 3

90%

25%

Perlakuan 4

40%

0%

Shift 2

Perlakuan 1

94%

30%

Perlakuan 2

75%

30%

Perlakuan 3

96%

30%

Perlakuan 4

35%

0%

Keterangan :

Perlakuan 1 = Cacing + air mengalir + aerasi

Perlakuan 2 = Cacing + air tergenang + aerasi

Perlakuan 3 = Cacing + air mengalir + tanpa aerasi

Perlakuan 4 = Cacing + air tergenang + tanpa aerasi

Shift 1 = Tanpa MB

Shift 2 = Penambahan MB

Tabel di atas menggambarkan SR tertinggi shift 1 pada pagi hari adalah pada perlakuan 1 sebesar 99% dan terendah pada perlakuan 4 sebesar 40 %. Pada sore hari SR turun drastis menjadi 25% pada perlakuan 1,2 dan 3, sedangkan SR terendah adalah 0% pada perlakuan 4. Shift 2, pada pagi hari SR tertinggi mencapai 96% pada perlakuan 3 dan terendah sebesar 35% pada perlakuan 4. Adapun pada sore hari, sama pada perlakuan shift 1 yakni 3 perlakuan memiliki SR yang sama yaitu 30% dan SR terendahnya pada perlakuan 4 yaitu 0%.

Gambar 2. SR cacing pada pagi hari

Gambar 2. SR cacing pada pagi hari

Gambar 2 di atas menunjukkan tingkat kelangsungan hidup cacing pada pagi hari untuk semua perlakuan. Tingkat kelangsungan hidup (SR) tertinggi terdapat pada kelompok 1 yang mencapai 99% (perlakuan air mengalir dengan aerasi) dan terendah pada kelompok 8 yang hanya mencapai 35% (perlakuan air tergenang tanpa aerasi).

Gambar 3. SR cacing pada sore hari

Gambar 3. SR cacing pada sore hari

Gambar 3 di atas menunjukkan tingkat kelangsungan hidup cacing pada sore hari untuk semua perlakuan. Tingkat kelangsungan hidup (SR) tertinggi pada kelompok 5, 6, dan 7 sebesar 30%, sedangkan SR terendah pada kelompok 4 dan 8 sebesar 0%.

4.2 Pembahasan

Data hasil praktikum menunjukkan SR cacing sutera dengan persentase tertinggi, yakni 99% diperoleh oleh perlakuan 1 shift 1 dengan air mengalir dan aerasi, tanpa penambahan methylene blue (MB) pada pagi hari. Berikutnya diikuti oleh perlakuan 3 shift 2 dengan air mengalir dan penambahan MB, SR 96% pada pagi hari. Pengamatan sore hari untuk shift 1 pada kelompok 1, 2 dan 3 menunjukkan SR sebesar 25%, sedangkan shift 2 pada kelompok 5, 6 dan 7 menunjukkan SR sebesar 30%. Data tersebut menunjukkan penambahan MB pada penanganan cacing sutera memperoleh SR lebih tinggi dibanding tanpa penambahan MB.

Penanganan-penanganan yang dilakukan berpengaruh pada ketahanan cacing sutera. Perubahan lingkungan menjadi faktor utama yang menentukan ketahanan cacing selama perlakuan dibandingkan dengan faktor lain seperti gangguan patogen. Sehingga, penanganan yang dilakukan harus memberikan lingkungan yang baik bagi cacing. Pengamatan 12 jam pertama memperlihatkan hasil yang berbeda untuk tiap perlakuan. Namun, di luar penambahan MB tingkat kelangsungan hidup dari tiap perlakuan yang diperlihatkan adalah sama. Cacing membutuhkan suplai air dan supai oksigen, sehingga perlakuan aliran air dan pemberian aerasi mampu menjaga kelangsungan hidup cacing sutera. Sebaliknya, penanganan yang tidak diberi perlakuan aliran air dan/atau pemberian aerasi mengakibatkan cacing sutera tersebut mati secara keseluruahan karena faktor lingkungan yang dibutuhkan tidak terpenuhi.

Penanganan cacing sutera yang dilakukan menunjukkan bahwa perlakuan air mengalir + aerasi + methylene blue mampu menjaga tingkat kelangsungan hidup yang tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya. Penanganan tersebut berhasil karena telah memenuhi kebutuhan dari cacing tersebut. Cacing sutera membutuhkan aliran air agar dapat bertahan hidup dan berkembangbiak. Aerasi dibutuhkan untuk menjaga suplai oksigen dalam jumlah yang cukup. Methylene blue berperan sebagai disinfektan terhadap serangan bakteri dan jamur yang dapat menyebabkan kematian pada cacing sutera. Penambahan MB memberikan manfaat lebih saat penanganan awal cacing karena pada masa tersebut cacing dalam keadaan lemah sehingga sangat rentan dari serangan bakteri atau jamur. Selain itu, pemberian MB juga mencegah transmisi patogen agar tidak menyebar ke dalam lingkungan budidaya ikan.

Pasar dari cacing sutera juga cukup bersaing dan menguntungkan. Budidaya cacing sutera hanya membutuhkan sumber bahan baku untuk tumbuh yaitu lumpur yang sudah mengandung bahan organik (Djarijah 1996). Cacing sutera juga memiliki harga jual yang cukup bersaing. Namun, harganya masih berfluktuatif dan berbeda antara daerah. Cacing sutra dalam kondisi hidup dijual dengan harga lebih tinggi dibandingkan dengan cacing sutera kering atau beku. Harga cacing sutra di Jakarta mencapai Rp 15.000-Rp 20.000/liter, sementara itu di kota Padang harganya mencapai Rp 7.000/liter. Jual beli cacing sutera umum dilakoni petani ikan terutama breeder ikan hias. Sebagian besar petani cacing sudah memiliki pasar, sehingga dalam penjualannya tidak menghabiskan banyak biaya untuk melakukan penawaran langsung kepada konsumen. Namun, bukan berarti pasar cacing sutera hanya berputar pada komunitas petani ikan saja, para hobii ikan hias juga menjadi pasar potensial bagi pemasaran tersebut.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Faktor penentu keberhasilan penanganan cacing sutera adalah perlakuan yang diberikan. Perlakuan paling baik yang dapat menjaga tingkat kelangsungan hidup dari cacing sutera tersebut adalah penambahan MB, aliran air dan aerasi.

5.2 Saran

Praktikum ini dapat dikembangkan dengan menambah parameter pegamatan yakni kualitas air karena perlakuan aliran air dan aerasi juga berpangaruh terhadap kualitas air selama penanganan cacing sutera.

DAFTAR PUSTAKA

Djarijah A S. 1996. Pakan Ikan Alami. Yogyakarta: Kanisius.

Gusrina. 2008. Budidaya Ikan Jilid 2. Direktorat Pengembangan Sekolah Menengah Kejuruan. Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.

Khairuman, Amri K, dan Sihombing T. 2008. Peluang Usaha Budidaya Cacing Sutra. Jakarta: PT Agromedia Pustaka.

Lukito A dan Surip P. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Jakarta: Penebar Swadaya.